Review buku Sorry, My Younger Self, I Can’t Make You Happy… But I Will: ulasan reflektif tentang healing, memaafkan diri sendiri, dan berdamai dengan masa lalu.
Sebuah Surat Maaf untuk Diri Sendiri yang Pernah Terluka
Ada buku yang memberikan sensasi bacaan. Ada pula buku yang berfungsi sebagai cermin.
Sorry, My Younger Self, I Can't Make You Happy… But I Will termasuk dalam kategori yang kedua.
Buku ini tidak bertujuan untuk mengajarkan, apalagi menjanjikan kebahagiaan sekejap. Ia datang dengan lembut—seperti surat yang akhirnya kita berani tulis untuk diri kita sendiri di masa lalu. Surat yang bukan hanya sekadar janji kosong, melainkan pengakuan yang tulus: aku tidak dapat menyelamatkanmu waktu itu, tetapi sekarang aku belajar untuk melindungimu.
Ini bukan sekadar buku. Ini adalah lorong waktu.Lorong waktu menuju:masa kecil, masa remaja, masa dewasa, masa tua.Bayangkan kamu bisa bertemu mereka:diri kecilmu yang ceria, diri remajamu yang muram,dirimu di masa depan yang tahu semua jawabannya.Apa yang akan kamu sampaikan kepada mereka?Apa yang akan kamu tanyakan?Tapi, apakah kamu siap mendengarnya?Bukalah buku ini, mereka ada di dalam sini.
Sorry, My Younger Self, I Can't Make You Happy… But I Will oleh Alvi Syahrin adalah sebuah buku pengembangan diri yang berfungsi sebagai "terowongan waktu" reflektif untuk terhubung dengan diri kita di masa lalu dalam berbagai tahap kehidupan. Diterbitkan pada Desember 2024 oleh Alvi Ardhi Publishing, buku ini mencakup 320 halaman dan membahas tema penyesalan, pengampunan diri, dan pertumbuhan melalui narasi emosional yang menyerupai surat.
Buku ini disusun sebagai percakapan batin antara diri kita saat ini dan diri kita yang dahulu—versi yang pernah merasakan kekecewaan, mengharapkan terlalu banyak, meletakkan kepercayaan berlebihan, dan bersikap terlalu keras pada diri sendiri.
Daripada berusaha menghapus kenangan lama, penulis malah mengajak pembaca untuk menerima kenyataan tersebut. Luka-luka tidak disembunyikan, kesalahan tidak diingkari. Semuanya dihadapi dengan satu sikap kunci: kasih sayang pada diri sendiri.
Konstruksi Narasi: Konsep Lorong Waktu sebagai Metodologi Refleksi
Inovasi dari segi struktur dalam buku ini terlihat pada pengaturan bab yang memakai metafora "Lorong Waktu". Ide ini memberikan kesempatan kepada pembaca untuk tidak sekadar membaca buku dengan cara yang biasa, tetapi merasa seakan-akan menjalani perjalanan spiritual ke berbagai tahap kehidupan mereka sendiri. Cerita ini terbagi menjadi beberapa bagian yang mengikuti urutan waktu dan meliputi beragam pengalaman hidup manusia.
Fase Pertama: Lorong Waktu Masa Kecil
Dalam segmen ini, Alvi Syahrin menyelidiki dasar dari seluruh kecemasan di masa dewasa: hubungan dengan orang tua dan harapan masa kecil yang tulus. Bab-bab seperti "Terjebak di Lembah Kesedihan Bernama 'Belum Membanggakan Orangtua" menyoroti beban harapan yang sering kali ditanggung oleh anak-anak di Indonesia. Penulis mengajak pembaca untuk mengunjungi "Museum Kenangan Masa Kecil" guna merenungkan ke mana hilangnya keceriaan mereka dan mengapa kehidupan dewasa terasa seperti "Hutan Angker". Hal ini menciptakan dampak emosional yang mendalam, terutama bagi mereka yang merasa telah kehilangan identitas asli selama proses pendewasaan.
Fase Kedua: Lorong Waktu Masa Remaja (Usia 15-19)
Masa remaja dianggap sebagai tahap peralihan yang kaya akan perubahan emosi. Alvi menyoroti dengan cermat usia-usia penting seperti:
Usia 15: Fokus pada kelelahan akademis dan drama sosial sekolah.
Usia 16: Eksplorasi cinta pertama, harapan pertama, dan patah hati pertama yang sering kali membentuk pola hubungan di masa depan.
Usia 17-18: Fase kebingungan akan passion dan paksaan untuk menjadi mandiri tanpa pendampingan yang memadai.
Usia 19: Kecemasan mengenai penyia-nyiaan masa muda dan ketakutan memasuki usia 20-an.
Fase Ketiga: Koridor Waktu Usia 20-an (Dekade yang Kejam)
Inilah bagian utama dari tulisan ini, di mana Alvi mengungkapkan kenyataan getir dari usaha untuk menemukan jati diri. Setiap tahun dalam sepuluh tahun ini diberi penamaan emosional yang sangat jelas, mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang siklus krisis dalam kehidupan masa kini:
| Usia | Tema Dominan dalam Narasi | Implikasi Psikologis |
| 20 | Kebingungan Arah Hidup | Kehilangan kompas eksistensial pasca-pendidikan formal. |
| 21 | Pengejaran Tanpa Henti | Kelelahan akibat target-target yang tidak pernah tercapai. |
| 22 | Penyesalan Terhadap Orang tua | Rasa bersalah karena belum memberikan keberhasilan finansial/status. |
| 23 | Brutalitas dan Trauma | Fase yang dianggap paling menyakitkan dan meninggalkan luka terdalam. |
| 24 | Nostalgia Keceriaan | Kerinduan akan diri sendiri yang dulu pernah bahagia. |
| 25 | Kematian Ambisi | Fase penyerahan diri terhadap realitas yang mematikan mimpi. |
| 26 | Apatisme (Ya Udahlah) | Penerimaan yang didasari oleh kepasrahan yang lelah. |
| 27 | Puncak Depresi | Periode terberat yang sering kali memicu keinginan untuk menyerah. |
| 28 | Kehilangan Kekuatan Diri | Ketidakmampuan untuk menjadi kuat bagi diri sendiri. |
| 29 | Krisis Penentuan | Ketakutan akan angka 30 sebagai batas akhir pencapaian. |
| 30 | Indiferensi Sosial | Mulai tidak memedulikan penilaian orang lain demi kedamaian batin. |
Isi dan Pembahasan
1. Mengenai Menerima Versi Diri yang Pernah Keliru
Buku ini tidak menyatakan bahwa segala sesuatunya akan berjalan lancar. Apa yang disampaikannya sebenarnya lebih realistis: bahwa kebahagiaan tidak selalu tersedia untuk diri kita yang dulu.
Namun, dari ketidakmampuan ini, kedewasaan dapat berkembang. Kita menyadari bahwa proses tumbuh sering kali berarti memahami, bukan sekadar memperbaiki.
2. Self-Love yang Tidak Klise
Tidak seperti buku-buku pengembangan diri lainnya yang dipenuhi dengan kata-kata manis, buku ini terasa lebih realistis.
Self-Love dalam konteks ini bukan hanya tentang mencintai diri sendiri tanpa syarat, tetapi juga mengenai memberi maaf kepada diri sendiri meskipun menyadari kesalahan yang ada.
Tulisan-tulisannya simpel, tetapi sangat tepat sasaran—mirip dengan pengakuan yang sudah lama terpendam di dalam hati.
3. Emosi yang Pelan Tapi Dalam
Tidak ada ledakan motivasi. Yang ada justru ketenangan yang menyejukkan.
Buku ini ideal dibaca dengan santai, mungkin satu bab menjelang tidur, saat pikiran mulai terbuka pada dirinya sendiri.
Banyak bagian yang membuat pembaca tertegun sejenak, bukan karena rumit dipahami, tetapi karena terasa sangat dekat dengan pengalaman pribadi.
Tema inti yang menyatukan semua bab dalam buku ini adalah percakapan antara "aku saat ini" dan "aku di masa lalu". Alvi Syahrin memanfaatkan permintaan maaf sebagai cara untuk mengurangi tekanan emosional. Pernyataan "I can't make you happy" adalah pengakuan yang tulus atas ketidakmampuan memenuhi harapan dari masa kecil, sementara bagian "but I will" menawarkan sebuah komitmen etis untuk masa mendatang. Ini merupakan pendekatan yang sangat berbeda dibandingkan buku motivasi klasik yang sering kali mendorong pembacanya untuk melupakan kegagalan yang pernah dialami.
Buku ini juga membahas aspek-aspek halus dari perkembangan emosi, seperti peralihan dari sifat yang ekstrovert dan dinamis menjadi karakter yang lebih introvert dan kelelahan akibat kekecewaan yang berulang. Alvi menjelaskan situasi di mana seseorang tidak merasakan kesedihan tetapi merasa "hampa"—sebuah tanda dari kelelahan eksistensial yang jarang dibahas secara mendetail dalam literatur populer Indonesia.
Gaya Penulisan
- Reflektif dan personal
- Bahasa lugas, tidak bertele-tele
- Sarat empati
- Minim jargon motivasi
Gaya ini membuat buku terasa seperti teman yang duduk di sampingmu, bukan mentor yang berdiri di depanmu.
Gaya penulisan Alvi Syahrin dalam karya ini sering diungkapkan sebagai sebuah "surat cinta untuk diri sendiri". Pemilihan kata yang lembut namun mendalam memungkinkan pesan-pesan yang sulit—seperti depresi dan trauma—disampaikan tanpa membuat pembaca merasa dihakimi. Salah satu pernyataan yang paling mencolok adalah: "So, we walk anyway. We walk with fear. And, that’s actually brave". . Kalimat ini mengubah pemahaman tentang keberanian dari tidak adanya rasa takut menjadi kemampuan untuk terus melangkah meski di tengah ketakutan tersebut.
Kejujuran dalam cerita Alvi juga tampak dalam bagian-bagian yang membahas interaksi antara anak dan orang tua. Ia tidak hanya menawarkan pandangan umum tentang "berbakti" tetapi juga mengakui rasa sakit yang dirasakan seorang anak ketika tidak bisa memenuhi harapan keluarganya, sebuah isu yang sangat peka dalam budaya kolektif Indonesia. Penulis menciptakan lingkungan yang nyaman di mana pembaca dapat merasakan kesedihan dan kekecewaan tanpa harus merasa bersalah atas emosi tersebut.
Kelebihan Buku
✔ Relatable untuk pembaca dewasa muda
✔ Tidak menghakimi masa lalu
✔ Cocok untuk proses healing emosional
✔ Bisa dibaca terpisah per bab
Kekurangan Buku
✖ Kurang cocok untuk pembaca yang mencari solusi praktis atau langkah-langkah teknis
✖ Tempo bacaan lambat—tidak semua orang menyukai gaya ini
Untuk Siapa Buku Ini?
Buku ini cocok untuk kamu yang:
- Sedang berdamai dengan masa lalu
- Merasa terlalu keras pada diri sendiri
- Pernah berkata, “Seandainya dulu aku lebih tahu…”
- Menyukai buku reflektif dan emosional
Jika kamu sedang mencari buku yang memahami, bukan menyuruh, maka buku ini layak masuk daftar bacaanmu.
Kesimpulan
Sorry, My Younger Self I Can't Make You Happy but I Will... bukanlah tentang menjadi versi terbaik dari diri sendiri.
Ia lebih kepada menjadi versi yang lebih lembut.
Buku ini mengajarkan bahwa kita tidak perlu mengulangi masa lalu untuk memperbaikinya.
Cukup berdiri di hari ini—dan memilih untuk hidup dengan lebih sadar, lebih jujur, dan lebih penuh kasih.
Kadang-kadang, itu sudah lebih dari cukup.
Secara keseluruhan, Sorry, My Younger Self, I Can't Make You Happy… But I Will. merupakan sebuah karya sastra pengembangan diri yang jujur dan tanpa kepura-puraan. Alvi Syahrin berhasil melampaui batas genre motivasi konvensional dengan menghadirkan sebuah tulisan yang lebih menyerupai terapi naratif. Dengan menggabungkan struktur yang inovatif, bahasa yang bersifat pribadi, dan pemahaman mendalam tentang perubahan usia, buku ini memberikan petunjuk bagi pembaca untuk berdamai dengan masa lalu mereka.
Bagi masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perubahan nilai budaya—dari kolektivitas yang mengikat menuju individualitas yang sehat—buku ini menjadi pedoman penting untuk memahami bahwa tidak memenuhi harapan di masa kecil bukanlah suatu hal yang memalukan, melainkan bagian dari perjalanan untuk menjadi pribadi yang utuh. Melalui pesan akhir yang kuat, Alvi menegaskan bahwa tanggung jawab utama kita bukanlah untuk memenuhi harapan diri kita di masa lalu, tetapi untuk memastikan bahwa diri kita di masa depan memiliki kesempatan untuk hidup dengan lebih damai dan menerima. Karya ini bukan hanya sekadar bacaan, melainkan sebuah ajakan untuk kembali ke rumah batin yang telah lama terlupakan.
| Judul | Rating | Cerita & Ilustrasi | Tebal | Berat | Format | Tanggal Terbit | Dimensi | ISBN | Penerbit |
|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
| JudulSorry, My Younger Self I Can't Make You Happy but I Will | Rating4.5 | Cerita & IlustrasiAlvi Syahrin | Tebal320 halaman | Berat0.4300 kg | FormatSoft copy | Tanggal Terbit28 January 2025 | Dimensi19 x 13 cm | ISBN9786239700256 | PenerbitAlvi Ardhi Publishing |
Dapatkan buku ini di Marketplace maupun di Gramedia.com
Pesan dari
KATALOG BUKU
Buku pilhan lainnya:
Bingung ingin baca review buku apalagi? Silakan cari disini.
Kamu juga bisa temukan buku lain nya di Katalog Kami










.gif)

Posting Komentar
0 Komentar